Buku Helen dan Sukanta adalah buku yang direkomendasikan oleh seorang teman. Sebelumnya, saya pernah mengenalkan sosok Dilan kepadanya. Kemudian dia menikmati semua seri buku Dilan.
Suatu hari dia membeli buku Helen dan Sukanta, dan balik meracuni saya dengan cerita tipis-tipis. Jujur waktu itu belum terlalu tertarik, apalagi ada unsur sejarahnya.
Setelah sekian lama, kira-kira akhir tahun 2022 saya melihat di twitter ada yang prelove buku, salah satunya buku Helen dan Sukanta. Kemudian saya iseng tanya harganya, ternyata lumayan murah. Jadi saya membelinya, beserta satu buku lainnya.
Tersimpan rapih di rak buku saya sejak akhir tahun, akhirnya bulan Juli kemarin saya membaca buku Helen dan Sukanta ini karena reading challenge Klub Blogger dan Buku.
Informasi Buku Helen dan Sukanta
Penulis : Pidi Baiq
Penyunting Naskah : Fuad J.
Ilustrasi Buku : Pidi Baiq
Desain Buku : M Kurnia FN
Proofreader : Febti Sribagusdadi R.
Setter : The Panasdalam Desain
Cetak Pertama : Oktober 2019
ISBN : 978-623-92083-0-1
Penerbit : The Panasdalam Publishing
Didistribusikan Oleh : Mizan Media Utama (MMU)
Surayah ini emang serba bisa ya. Nulis iya, nyanyi bisa, main alat musik bisa, eh gambar juga cakep. Saya suka sekali dengan sampul buku Helen dan Sukanta. Menggambarkan salah satu kejadian yang dialami Nyonya Helen saat berada di Bandung.
Terlihat sosok wanita menghadap belakang sedang berada di tengah jalan, dengan keadaan banyak pesawat di atasnya. Gedung di pinggir kanan kiri menggambarkan latar tempat saat kejadian.
Blurb Buku Helen dan Sukanta
Di restoran Indonesia Lachende Javaan, Haarlem, Belanda, tahun 2000, Nyonya Helen bercerita kepada saya tentang masa lalunya selama dia tinggal di Hindia Belanda, yang kini bernama Indonesia.
“Saya lahir dan tumbuh di Ciwidey. Masa remaja saya, saya habiskan di Bandung, sampai kemudian Jepang datang pada tahun 1942 dan mengubah semuanya.”
Nyonya Helen kemudian menceritakan juga kisah asmara yang dia jalin bersama Sukanta, seorang pribumi. “Firasat saya benar, saya menyukai Sukanta. Itulah yang saya rasakan.”
Harus ada yang mengerti bagaimana Nyonya Helen merasakan semua kenangannya. Tidak ada yang tahu sudah berapa banyak rasa rindu menguasai dirinya sejak dia mengucapkan selamat tinggal kepada Indonesia.
“Nah, sekarang, diamlah. Ini cerita saya, dan semuanya benar-benar terjadi.”
Review Buku Helen dan Sukanta
Helen Maria Eleonora lahir tahun 1924 di Kawasan Tjiwidei (Ciwidey). Dia lahir sebagai seorang gadis Belanda yang memiliki kulit putih agak kekuning-kuningan, pipi agak kemerahan dengan sedikit bintik-bintik cokelat pada bagian wajah. Mata biru dengan rambut pirang agak kecokelatan yang tebal bergelombang membuat dia terlihat sangat cantik.
Sejak kecil Helen dibesarkan dengan bahasa Belanda dan tumbuh dalam keluarga Belanda yang mengutamakan nilai-nilai budaya Belanda. Seleranya pun dibuat sesuai dengan model Eropa, di tengah-tengah kepungan budaya, norma, dan nilai-nilai masyarakat pribumi. Padahal, Helen lebih menikmati budaya pribumi dibandingkan budaya Eropa.
Pola asuh yang cukup ketat membuat Helen tidak diizinkan pergi ke manapun, terutama jika sendirian. Orang tuanya berpikir lingkungan di luar begitu mengerikan, dan lebih suka melihat Helen menghabiskan hari-harinya di rumah saja.
Helen hanya pergi ke sekolah, gereja, dan pergi bersama keluarga. Sisanya dia menghabiskan waktu di dalam kamarnya bersama buku-buku dan biola. Teman yang dia miliki hanya Sitih, seorang pribumi yang menjadi pengasuhnya sejak kecil.
“Ada banyak hal yang lebih penting dalam kehidupan manusia daripada hanya duduk terus di kamar.” Hal. 60
Suatu hari Helen merasa sendirian dan kesepian, tak ada teman yang memanggil namanya dan mengajaknya pergi. Kemudian dia minta kepada Sinterklaas, dia ingin mempunyai teman dan berjanji akan menjadi anak yang manis dan baik.
Tak disangka, doanya terkabul. Suatu hari di bulan April 1937, Helen melihat anak muda kira-kira berumur 15 tahun berada di depan rumahnya. Dia hanya melihat dari ambang jendela kamar, namun sosoknya berhasil mencuri perhatian. Tidak seperti orang pribumi pada umumnya. Dia tampak sehat, segar, bersih, ceria, dan berambut tebal, juga bagus. Seorang anak muda yang menarik dan wajahnya enak dilihat.
Namanya Sukanta, biasa dipanggil Ukan. Dia adalah keponakan Darsan, tukang kebun di rumahnya. Awalnya Helen malu untuk berkenalan dengan Ukan, tapi dia memberanikan diri dan mereka pun berteman baik.
Sejak awal melihat Ukan, Helen memang sudah menyukainya. Dengan semakin dekat dan seringnya bermain bersama, Helen semakin menyukai Ukan. Begitu pula sebaliknya, mereka saling menyukai.
Lama-lama kedeketan mereka diketahui oleh orang tua Helen, ayahnya pun melarang Helen bermain lagi dengan Ukan karena tidak selevel. Orang Belanda tidak pantas terlalu dekat dengan pribumi.
Namun sering kali Helen melanggarnya dan tetap bermain bersama Ukan, sampai akhirnya ketahuan oleh pamannya. Tak lama dari itu Ukan menghilang ntah ke mana, dan Helen beranggapan jika ayah dan pamannya lah yang membunuh Ukan.
“Dia adalah kekasih yang baik, kamu harus tahu. Saya memiliki hal-hal baik yang langka dengannya. Cinta untuk orang itu adalah sesuatu yang sangat indah dan nyata di dalam diri saya. Penuh petualangan.” Hal. 19
Kemudian Helen pergi kuliah ke Bandung, tapi kesedihan tentang Ukan masih menghantuinya. Di saat perlahan dia mulai ceria dan memiliki teman-teman baru, bahkan mulai berkencan dengan lelaki baru. Ukan kembali datang menemuinya.
Singkatnya Helen dan Sukanta akhirnya menikah. Mereka hidup sederhana di rumah saudara Ukan di Lembang. Apakah setelahnya kehidupan mereka bahagia? Tentu saja tidak, satu per satu masalah hadir. Lalu mampukah mereka melewatinya? Dan bagaimana akhir dari kisah cinta Helen dan Sukanta?
“Pernikahan kalian harus lebih didasari oleh kebebasan di dalam memilih. Pasangan hidup harus ditentukan berdasarkan pada kesesuaian hati masing-masing. Pernikahan dilaksanakan harus lebih pada karena ada kesempatan dan inisiatif pribadi yang bersangkutan, bukan ditentukan oleh pendapat orang lain.” Hal. 302
Opini Pribadi Tentang Buku Helen dan Sukanta
Buku Helen dan Sukanta diceritakan menggunakan sudut pandang Helen. Jadi hampir seluruh cerita di buku ini tentang Helen. Tentang kehidupannya, keluarganya, rumahnya, hobinya, temannya, kisah cintanya, bahkan orang-orang pribumi yang membantunya di rumah.
Menariknya buku Helen dan Sukanta ini bukan hanya mengangkat kisah cinta Helen dan Sukanta saja, tapi juga menceritakan kisah pribumi dan orang Eropa zaman dahulu. Latar tempat, kejadian, dan tokoh yang ada di dalam buku diceritakan dengan detail. Jadi pembaca bisa membayangkan bagaimana kondisinya.
“Di Hindia, pada masa itu, orang kulit putih secara alami menempatkan dirinya di atas derajat penduduk asli, meskipun tidak pernah diucapkan sengan keras, tapi di dalam sikap dan perilakunya semua menunjukan bahwa orang Belanda merasa memiliki status yang lebih tinggi daripada orang Hindia. Orang kulit putih merasa jelas bahwa mereka berada di antara lapisan atas dan merasa memiliki kendali.” Hal. 93
Saat Jepang akhirnya sampai di Bandung dan memulai peperangan dengan Belanda, dikisahkan bagaimana kejamnya Jepang. Bukan hanya dengan orang pribumi, tapi juga dengan orang Belanda. Di bagian ini pembaca dibuat sedikit ngeri dan sedih, padahal orang Belanda juga sudah menjajah dan berlaku kurang adil dengan pribumi, tapi ntah kenapa pas bagian orang-orang Belanda dievakuasi ke tempat persembunyian tetap membuat sedih dan kasian.
Mereka yang biasa hidup enak dan tidak pernah susah, tiba-tiba harus tinggal dan tidur di tempat yang tidak layak. Makan seadanya, bahkan sampai banyak yang terkena penyakit. Membayangkan Helen yang sedang hamil berada di tempat seperti itu membuat saya kasian. Belum lagi kepikiran nasib Ukan dan orang tuanya yang ntah bagaimana.
Namun, dari banyaknya kisah mengharukan dalam buku Helen dan Sukanta, bagian yang paling menyentuh adalah ketika Helen dibantu orang-orang pribumi. Dibantu Pak Kusir ketika ingin pergi ke Lembang agar tak terlihat orang Jepang, dan ketika Helen bertemu Soepardi.
“Pak Kusir berkata di tengah suara derit dokar, bahwa kita telah mengalami hidup bersama-sama. Jangan melupakan hal itu. Tidak ada Indonesia, tidak ada Belanda, tidak ada Jepang. Semuanya adalah manusia. Orang-orang harus rukun dan saling membantu. Itu adalah hal paling utama.” Hal. 342
15 Agustus 1945 setelah pengakuan Jepang kalah perang, dan terdapat kekosongan kekuasaan. Nasionalis Hindia Belanda segera mengambil kesempatan dengan mendirikan Negara Republik Indonesia. Di saat itu pula Helen bertemu Soepardi, bawahan Helen ketika bekerja di perkebunan di Lembang.
Saat itu kondisi sangat kacau, tak ada tempat yang aman untuk orang Cina dan Eropa. Banyak pemuda pribumi yang berjaga-jaga di setiap sudut kota, kemudian Helen bertemu Soepardi dan beberapa pemuda pribumi yang sedang berjaga-jaga ketika hendak pulang ke Bandung.
Awalnya Helen sempat khawatir, tapi sedikit merasa lega karena ada Soepardi di antara para pemuda itu. Setelah Soepardi berbicara dengan pemuda lainnya, Helen dipersilahkan pergi. Namun perpisahan mereka berdua sukses membuat saya menangis, bahkan ketika mengetik ini saya jadi teringat dan kembali bersedih.
“Cobalah untuk mengabaikan kecenderungan menilai orang lain. Setiap hal belum tentu seperti apa yang kita lihat. Besok, masih ada waktu untuk memberimu giliran bersikap baik padanya. Kau bisa melakukannya tidak lebih dari yang diperlukan.” Hal. 241-242
Kedekatan dan ketulusan keduanya sungguh menguras emosi. Saya seolah dibawa masuk dan melihat kejadian tersebut, Surayah memang jago sekali memasukan emosi di beberapa bagian di buku Helen dan Sukanta ini.
Sayangnya, saya merasa karakter di buku Helen dan Sukanta ini kurang kuat, terutama tokoh Sukanta. Hampir di semua percakapan dan bercandanya Sukanta ke Helen sangat mirip Dilan. Gaya bicaranya, gaya bercandanya, dan perlakuannya Ukan ke Helen.
Untuk saya yang lebih dahulu mengenal sosok Dilan, ketika membaca bagian Helen dan Sukanta selalu merasa Dilan yang berbicara dengan Helen. Bahkan di beberapa bagian kadang Helen terlihat seperti Milea ketika merespon bercandaan Dilan.
Jadi sebenarnya Sukanta ini sosoknya seperti apa masih abu-abu, ya walaupun di awal digambarkan fisiknya seperti apa tapi perilakunya masih nggak jelas antara dia Sukanta atau Dilan.
“Dia selalu dapat berbicara tentang pikirannya. Kau boleh setuju atau tidak. Setiap orang memiliki pandangannya sendiri, yang satu mengatakan ini, yang lain mengatakan itu, dan tidak ada yang tahu tentang kebenaran sejati.” Hal. 136
Sebenarnya saya masih penasaran dengan kisah selanjutnya, tapi karena ini dari kisah nyata jadi tak bisa berharap ada kelanjutannya. Apalagi Nyonya Helen sudah meninggal pada 12 Juni 2012, jadi pembaca harus puas dengan akhir dari cerita Helen dan Sukanta.
“Saya hanya ingin membiarkan kenangan berbicara lewat tulisan, biar tak lekang oleh waktu.” Hal. 21
Untuk kamu yang lagi nyari bacaan roman dengan latar Sejarah dan latar tempat yang detail, kamu bisa baca buku Helen dan Sukanta ini. Selain menikmati kisah cinta Helen dan Sukanta, jadi belajar sedikit Sejarah dan merasakan kondisi zaman dahulu sebelum merdeka.
“Waktu akan membuat kita lupa, tapi yang kita tulis akan membuat kita ingat.” Pidi Baiq
Ada yang sudah baca Helen dan Sukanta juga? Bagaimana menurut kamu?
Review Buku Lainnya :
- Komik Sandi Nusantara Karya Hokky Situngkir
- 9 Summers 10 Autumns Karya Iwan Setyawan
- Keliling Nusa Tenggara Luar Dalam
- The Privileged Ones Karya Mutiarini
- Rembulan Tenggelam Di Wajahmu
- Tarian Bumi Karya Oka Rusmini
- Corat-coret di Toilet Karya Eka Kurniawan
- Merantau ke Deli Karya Hamka
- Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin
- Confessions Karya Minato Kanae
- The Boy I Knew From YouTube Karya Suarcani
- Di Dalam Lembah Kehidupan Karya Buya Hamka
- The Architecture Of Love Karya Ika Natassa
novelis yang membuat novel berlatar sejarah, keren sih menurut gw karena pasti ngelakuin riset yang “ngga main2”, sebelum memulai novelnya..
kalo bisa ketemu novelis kayak gitu mw nanya deh, berapa lama ngadain riset kayak gitu dan metodenya kyk gmn..
karena kalo ngelakuinnya setengah2, yang ada hasil novelnya jadi “maksa” 🙂
nice post, tin..
Menarik ulasan bukunya, romansa dipadu dengan sejarah zaman kolonialiesme, Jadi penasaran buat punya dan baca ini buku.
latar ceritanya sangat menarik. Kisah percintaan orang eropa dan pribumi ketika masa penjajahan. Pada masa itu memang orang kulit putih memang dipandang lebih terhormat dan punya pengaruh dibandingkan pribumi. Kalau menurut tulisanmu, buku ini menceritakan detail latar yang digunakan berarti riset yang digunakan sangat bagus. Butuh referensi yang sangat baik ketika menuliskan sejarah pada sebuah novel atau buku.
kalau aku baca tentang “… dievakuasi ke tempat persembunyian …” menurutku itu adalah kamp interniran. Sebuah kamp yang dikhususkan untuk tahanan perang warga Eropa. Biasanya kamp ini dibedakan antara kamp untuk laki-laki dan kamp untuk perempuan, anak-anak, remaja. Kalau perempuan dan anak-anak “ditahan” di kamp dengan kondisi yang seperti ditulis di atas. Sedangkan laki-laki dipaksa untuk melakukan kerja paksa (romusha).
review yang sangat bagus 🙂
Yap bener, orang kulit putih emang dipandang lebih terhormat dan kebanyakan memiliki ekonomi yang baik pada zamannya. Nah iya seperti kamp gitu mas, duh tapi lupa namanya.
Kalau dari resensinya, kayaknya yang ini Pidi Baiq agak serius yah… Mungkin juga karena ini kisah nyata, jadi ruang geraknya agak berkurang. Terkadang memang yang fantasi lebih menyenangkan daripada yang asli 🙂
Ya begitulah mas, tapi masih terlihat kok kalau yang nulis Surayah. Di beberapa bagian terlihat ciri kash Surayah jadi nggak terlalu serius juga
wah, baru tau ada novelnya Ayah yg ini, entah kenapa pertama kali baca Helen yg kebayang Helen Keller, eh tapi beneran Noni Belanda ternyata yaaa… oh ya btw, tentu gambar Ayah bagus, beliau alumni FSRD ITB sekaligus dosennya… semua sketsa di buku Dilan ya gambarnya Ayah semua jugaaa
Sepertinya karakter Dilan memang tidak bisa lepas dari karya-karya Pidi Baiq, walau dalam novel ini berlatar kolonial sampai era awal kemerdekaan, tapi ciri khas karakter Dilan, yang seyogyanya anak Bandung era 80-90 an tidak bisa lepas
Ntah karakter Dilan yang kuat, atau emang itu karakter Surayah jadi seperti bayang-bayang
jadi ngebayangin si helen jalan sama dilan wkwkwkw… mungkin karena antin udah baca dilan duluan dan mindset ke pidi baiq itu memang dilan jadi kebawa citranya dilan ya, tapi namanya pembaca bebas menafsirkan
romantika 2 insan, periode nya pas masih masa-masa penjajahan juga, auto kebayang Minke sama Annelies juga tin ahahahha,, novel-novel gini emang ngaduk2 emosi yaa. Pidi Baiq kadung kebancut Dilan apa ya, jadinya karakter2 lain kebawa2 dilan juga, hmm