Promo akhir tahun gramedia.com berhasil membuat Antin tergoyah. Niatnya nggak mau jajan buku lagi eh malah check out buku The Privileged Ones dan Pangeran Cilik.
Kedua buku tersebut memang sudah masuk list buku yang ingin dibeli, tapi masih maju mundur karena masih punya beberapa buku bersegel yang belum sempat dibaca.
Seakan semesta mendukung agar Antin rajin membaca lagi, reading challenge yang diadakan oleh Klub Blogger dan Buku di bulan Januari ini bertema “Buku yang terakhir dibeli”.
Siapa sangka jika Antin bisa menyelesaikan tantangan bulan ini dengan cepat, buku The Privileged Ones dan Pangeran Cilik berhasil dibaca sampai selesai. Kedua buku ini memiliki cerita yang bagus, tapi kali ini saya ingin mengulas buku The Privileged Ones.
Informasi Buku The Privileged Ones
Judul : The Privileged Ones
Penulis : Mutiarini
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
Penyunting : Vie Asano
Perancang Sampul : Orkha Creative
ISBN : 9786020659855
ISBN Digital : 9786020659862
Tebal : 248 hlm
Terbitan Pertama : 2022
Buku The Privileged Ones memiliki sampul yang sederhana dengan warna yang kalem. Terdapat bulatan lapangan dan 2 perempuan yang berlari dengan garis mulai yang berbeda. Sangat menggambarkan isi cerita dalam buku ini.
Buku ini menjadi buku pertama karya Mutiarini yang saya baca. Saya suka sekali dengan topik yang diangkat dalam buku ini, topik yang belakangan ini lagi hangat-hangatnya. Jika melihat tahun terbit buku ini, saya rasa buku ini cukup mewakili keresahan banyak orang belakangan ini.
Setelah lama tidak membaca buku young adult, buku The Privileged Ones berhasil mengembalikan semangat membaca saya yang dua tahun terakhir mulai memudar.
Blurb Buku The Privileged Ones
Tugas akhir mata kuliah Publisitas berubah menjadi kompetisi bergengsi yang diadakah oleh Universitas Pandawa dan Change TV. Para mahasiswa harus menciptakan kanal YouTube berkualitas yang mampu mengimbangi gempuran konten sampah yang banyak beredar.
Masalahnya, Rara hanyalah mahasiswi miskin penerima beasiswa dari desa kecil di pelosok Banyuwangi. Kedua teman sekelompoknya pun bisa dibilang mahasiswi rata-rata. Tidak mungkin kelompok mereka mampu bersaing dengan kelompok Diva yang semua anggotanya terlahir dari keluarga kelas sosialita Jakarta.
Jika diibartkan perlombaan lari, Rara dan Diva memulai dari garis star yang sama sekali berbeda. Bagaimana mungkin mengalahkan orang-orang yang sejak lahir sudah memiliki segalanya?
Dengan dibantu Giri, seorang psikolog muda, kelompok Rara membuat kanal bertajuk Soul Diary. Mereka bertujuan meningkatkan kesadaran tentang kesehatan mental. Sementara, kelompok Diva membuat kanal Second Chance Fashion yang mengusung tema upcycled fashion demi menjaga kelestarian lingkungan. Tak disangka, kompetisi sengit itu justru membuka mata Rara akan berbagai kenyataan hidup yang tidak ia pahami sebelumnya.
Termasuk, tentang arti privilese yang sebenarnya.
Review Buku The Privileged Ones
“Zaman sekarang karier bukan cuma urusan pintar-pintaran. Kalau tidak punya uang dan koneksi, tidak bisa jadi apa-apa.” Hal. 15
Kalimat di atas diucapkan oleh ayah Rara ketika tertinggi Banyuwangi menyampaikan bahwa Rara lolos tes SMBPTN masuk Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pandawa. Salah satu Fakultas Ilmu Komunikasi terbaik di Indonesia.
Ucapan tersebut bukan tanpa sebab, karena dua tahun lalu, pada usia 47 tahun. Bapaknya Rara, Sayuti, dipensiunkan dini dari jabatannya sebagai salesman perusahaan distribusi produk susu formula dengan pesangon seadanya. Ia digantikan pegawai baru yang lebih muda dan konon masih bersaudara dengan salah satu atasan.
Usia yang sudah senior membuat Sayuti tak bisa mendapatkan pekerjaan di tempat lain. Padahal, menjadi petani buah pada usia senja bukanlah pencapaian karier yang Sayuti harapkan.
“Perempuan yang kepinteran nanti nggak ada yang mau mengawini.” Hal. 16
Belum lagi stigma orang-orang yang masih beranggapan jika perempuan yang terlalu pintar membuat laki-laki takut dan tak mau menikahinya. Itu juga yang menjadi alasan Sayuti melarang Rara melanjutkan kuliah.
Namun, Rara beruntung karena memiliki kakak yang baik. Indah mendukung Rara melanjutkan kuliahnya dan akan membantu keperluan lain sebisanya. Indah berharap Rara memiliki nasib lebih baik, Rara bisa mendapatkan banyak pilihan dalam hidupnya.
“Kita memang orang susah, tapi pantang berutang. Sudah, jangan mikir apa-apa. Mbak pasti usahakan kirim untuk kamu setiap bulan.” Hal. 6
Konflik di buku ini memuncak ketika Bu Susan, dosen Mata Kuliah Publisitas memberikan tugas untuk menciptakan YouTube channel. Jika kamu sudah membaca blurb di atas pasti sudah sedikit terbayang ya.
Sejak awal Rara selalu merasa iri dengan Divara Ayla Bratasena, salah satu dari mereka yang beruntung sejak berada dalam kandungan. Anak dari seorang pengacara kenamaan dan ibunya mantan model berdarah campuran Jerman. Selain cantik, Diva juga kaya.
Untuk Rara, kompetisi ini bukan hanya persoalan mendapatkan hadiah uang tiga puluh juta rupiah. Namun, kompetisi ini juga menjadi ambisi Rara untuk mengalahkan Diva dan teman-temannya. Ya walaupun terlihat mustahil, karena mereka akan memulai dari garis mulai yang berbeda.
Diva beserta teman-temannya tak perlu pusing dengan peralatan dan lain-lain, karena mereka memiliki privilese dari orang tuanya. Sedangkan Rara dan kelompoknya memiliki banyak keterbatasan, harus menyewa peralatan dan memikirkan calon narasumbernya.
Permasalahan-permasalahan lain muncul saat kompetisi ini berlangsung. Rara dengan keterbatasannya merasa harus memenangkan kompetisi ini agar bisa tetap melanjutkan kuliah, sedangkan kedua temannya merasa tak harus menang yang penting nilai mereka baik. Toh YouTube channel mereka juga berada di urutan kedua.
Berhasilkah Rara dan teman-temannya mengalahkan kelompok Diva dalam kompetisi tersebut? Kamu harus cari tahu sendiri dengan membaca buku ini.
“Semuanya memang lebih mudah jika kamu cantik dan kaya.” Hal 13
Opini Pribadi Tentang Buku The Privileged Ones
Menurut saya buku The Privileged Ones ini paket komplit, membahas banyak kasus yang memang belakangannya ini banyak terjadi. Membahas keresahan banyak orang dengan maraknya konten kurang baik di YouTube, tentang pentingnya kesehatan mental, dan privilese yang sering kali membuat kita membanding-bandingkan diri.
“Banyak social media influencer yang tidak sadar bahwa memiliki kemampuan untuk mempengaruhi follower berarti juga memiliki tanggung jawab untuk mencerdaskan. Akhirnya yang terjadi, banyak dari mereka yang menyajikan konten instan tanpa muatan positif. Tujuan mereka sekadar mendulang views dan subscriber serta menarik endorser.”Hal. 18
Ide YouTube channel yang dibuat Rara dan Diva sangat menarik dan bermanfaat. Rara dan kelompoknya membuat Soul Diary yang membahas tentang kesehatan mental, dengan menggandeng Giri, psikolog muda dan beberapa narasumber yang menceritakan kasusnya.
“Kami percaya bahwa kesehatan psikis layak mendapatkan atensi yang sama besar dengan kesehatan fisik. Saat ini, masyarakat kita masih merasa tabu membicarakannya. Jika seseorang memiliki masalah kesehatan mental, tak jarang hanya akan dianggap malas atau kurang iman. Padahal, banyak faktor yang menyebabkannya. Jika didiagnosis dan ditangani dengan tepat sedini mungkin, efek masalah emosional pada hidup seseorang bisa diminimalisasi.” Hal. 33
Soul Diary dibuat untuk meningkatkan kepedulian terhadap masalah kesehatan mental dan menormalisasi perbincangan terkait isu ini. Harapannya, dengan adanya Soul Diary kesehatan mental tidak lagi menjadi sesuatu yang tabu untuk dibicarakan, melainkan tantangan sehari-hari yang bisa dipecahkan.
Sedangkan Diva dan kelompoknya membuat Second Chance Fashion. Bekerja sama dengan beberapa desainer kenamaan Indonesia, pada setiap episodenya akan menerima satu klien yang tertarik melakukan fashion upcycle dan mendokumentasikan prosesnya. Bukan hanya mempromosikan pentingnya mengelola limbah fesyen, tapi juga memberikan solusi langsung, sekaligus membantu para pengusaha lokal.
Dua YouTube channel dengan konsep dan ide yang menarik, saya malah berharap benar-benar ada YouTube channel seperti itu. Konten yang bermanfaat dan tak biasa, tapi dikemas dengan menarik agar penonton tidak bosan.
Selain serunya kompetisi antara Rara dan Diva, di buku ini banyak sekali pesan yang ingin disampaikan penulisnya. Terutama tentang kesehatan mental dan privilese.
Cerita-cerita narasumber Rara untuk konten YouTube adalah cerita yang benar-benar banyak terjadi. Tentang orang tua yang terlalu mengekang anaknya karena trauma masa lalu, tentang seorang istri yang diselingkuhi oleh suaminya, dan tentang toxic relationship.
Di berbagai negara, laki-laki memiliki kecenderungan bunuh diri dua kali lipat lebih tinggi daripada perempuan. Padahal, kasus depresi lebih banyak didiagnosis terjadi pada perempuan. Hal itu terjadi karena dalam banyak budaya, laki-laki dituntut untuk selalu kuat. Sayangnya, menjadi kuat itu seringkali disalahartikan sebagai tidak mengakui dan menunjukan emosi.
Saya kenal beberapa orang laki-laki yang berani jujur dengan keadaannya, dia tak malu membagikan kalau dia baru konsultasi ke psikiater dan harus meminum obat. Menurut saya itu bagus, mereka peduli dengan kesehatan mental dan memang tak perlu malu. Hal tersebut bukan aib, tapi bisa diobati kok.
Oleh sebab itu, ketika membaca buku ini saya merasa senang. Misi Rara dan teman-temannya untuk mengedukasi agar lebih banyak lagi laki-laki yang bisa mengakui dan menunjukan emosinya, adalah pesan yang sangat bagus untuk pembaca.
Kemudian tentang privilese, penulis pun memberikan pencerahan sekaligus pandangan yang lebih baik. Memang sering kali tanpa sadar kita selalu membandingkan garis mulai dengan orang lain. Kita lebih fokus pada apa yang orang lain miliki, dibandingkan fokus dengan apa yang kita miliki.
“Menurut gue, naif namanya kalau lo Cuma melihat privilese sebagai uang, dan kondisi fisik. Privilese hadir dalam berbagai bentuk. Kesehatan, bakat, kecerdasan, orang-orang baik di sekitar, lingkungan tempat tumbuh dan tinggal, akses ke pendidikan, serta banyak lagi.” Hal. 184
Di buku The Privilaged Ones kita seperti disadarkan jika setiap orang memiliki privilesenya masing-masing, daripada sibuk memikirkan privilese orang lain dan berujung iri, lebih baik fokus pada privilese sendiri dan memanfaatkannya dengan baik.
“Nggak ada seorang pun di dunia ini yang hidupnya sempurna. Tapi, kalau lo lebih memilih mengasihani diri daripada fokus pada hal-hal yang masih bisa lo perjuangkan, itu artinya menyerah dengan terlalu mudah. Lo bisa saja jadi orang tercantik, terkaya, atau terpintar di dunia. Tapi, kalau lo nggak bisa memanfaatkan itu semua, hidup lo tetap akan percuma.” Hal. 185
Dari cerita di buku The Privilaged Ones ini bukan hanya Rara yang mendapatkan pelajaran berharga tentang memaknai privilese, tapi saya pun begitu. Pesan yang ingin disampaikan oleh penulisnya tersampaikan dengan baik ke pembaca.
“Siapapun kita, hidup tak akan pernah mudah. Namun, semesta selalu membuka celah bagi mereka yang menolak menyerah.” Hal. 247
Jadi, untuk kamu yang masih fokus ke privilese orang lain. Yuk sadar, kembali fokus ke privilese yang kamu miliki dan kembangkan itu. Jangan buang-buang waktu memikirkan apa yang orang lain miliki, tapi fokuslah pada apa yang kamu miliki. Karena kamu tak pernah tahu, bisa saja apa yang kamu miliki saat ini adalah sesuatu yang diidam-idamkan oleh orang lain.
“Hidup bukan tentang mengalahkan orang lain. Hidup adalah tentang menggunakan privilese yang kita punya, apapun itu bentuknya, untuk berguna bagi orang lain.” Hal. 242-243
Untuk kamu yang membaca ulasan ini, kamu harus membaca buku The Privileged Ones ini setidaknya sekali. Saya yakin kamu tidak akan menyesal.
Review buku lainnya:
- Rembulan Tenggelam Di Wajahmu Karya Tere Liye
- Tarian Bumi Karya Oka Rusmini
- Corat-coret di Toilet Karya Eka Kurniawan
- Merantau ke Deli Karya Hamka
- Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin Karya Tere Liye
- Confessions Karya Minato Kanae
- The Boy I Knew From YouTube Karya Suarcani
- Rempah Rindu Karya Gina Maftuhah Dkk
- Di Dalam Lembah Kehidupan Karya Buya Hamka
- The Architecture Of Love Karya Ika Natassa
Privilese memang lagi booming benget akhir-akhir ini, dan sering gue liat keributan di Twitter tentang privilese. Jadi penasaran sama ini buku buat liat endingnya si Rara kek mana, apakah menang lomba atau gimana.
suka sama isi bukunya deh kak, menarik untuk dibaca dan direnungi, apalagi halaman 6 tuh, prinsip aku banget, pantang berhutang, bukan apa2 takut jadi kebiasaan, hihihihi
aku belum pernah baca buku dari penulis Mutiarini, jadi kepo dan cek google ternyata ini bukunya udah lama yah kak lebih dari 10 tahun padahal dimasa itu aku masih rajin belanja dan baca buku dr gramedia. bolehlah kak sekali seumur hidup harus baca buku ini
Ini bukunya belum lama-lama banget kok kak, terbit tahun 2022 makanya relate dengan isu-isu yang lagi hangat
Sepertinya saya akan berkomentar panjang lebar 🙂
Topik-topik yang diangkat dalam buku ini semuanya memang topik yang sedang hangat dibicarakan masyarakat. Apakah penulisnya bisa memprediksi masa depan? Hm.. Topik “orang dalam”, kesehatan mental, dan masculinity sering saya temui di linimasa Twitter. Saya sendiri adalah seorang caregiver untuk seseorang yang masih berjuang dengan ADHD, jadi saya setuju banget bahwa masyarakat perlu lebih melek dengan kesehatan mental. Penyakit kejiwaan itu nggak cuma “gila”, namun ada banyak ragam dan tingkatannya, seperti halnya penyakit fisik.
Sebagai laki-laki antimainstream yang memang unik dari lahir, saya nggak suka banget dengan toxic masculinity. Cowok harus kuat lah, nggak boleh nangis lah, harus bisa main bola lah, dsb. Hasilnya, banyak cowok yang enggan berbagi beban dengan orang-orang kesayangannya dan memilih memendamnya sendiri.
Saya sendiri masih berjuang untuk meningkatkan komunikasi interpersonal saya agar lebih transparan dan mau lebih berbagi, tapi seringkali masih terbawa kebiasaan 🙂
Terima kasih ulasannya, mbak. Saya sangat appreciate bagian blurb dipisahkan dan ada keterangannya, seharusnya setiap review buku dan film dibuat seperti ini. Salam~
Terima kasih, Kak sudah berkenan berbagi cerita.
Senang juga rasanya sekarang sudah lebih banyak orang yang melek tentang kesehatan mental.
Semangat, Kak.
Haduh berasa ketampar ya. Kita memang sering membanding-bandingkan apa yang orang lain miliki dibandingkan dengan millik sendiri. Bahkan seringkali jadinya tdak bersyukur.
Bukunya cocok dibaca untuk anak sekolahan SMP tidak ya mbak?
Menurut aku cocok-cocok aja dibaca anak SMP kak, genrenya juga masih Young Adult tapi relate untuk semua umur
Kesehatan mental memang seringkali dipandang kurang penting ya Kak, bersyukur sekali akhir-akhir ini banyak yang speak up jadi mulai diperhatikan. Ditambah dengan kehadiran buku The previleged one yang membahas kesehatan mental dan previlese, jadi semakin menarik. Pesan-pesan penulis dalam buku ini sangat patut diacungi jempol dan ceritanya related banget dengan kehidupan sehari-hari.
Betul kak, ini buku genre Young Adult tapi konflik yang diangkat relate untuk semua umur
Aku setuju banget soal setiap orang memiliki privilesenya masing-masing. Karena disetiap kekurangan pasti ada kelebihan yang tersimpan. Dan itu related banget sama kehidupan aku.
Banyak socmed influencer yang gak paham arti ‘influencer’. Bener banget yang dicari hanya fypnya. Makanya banyak yang bikin konten asal-asalan.
Konten ngasal di sini bukan dalam artian kualitas foto/video yang jelek, misalnya kurang tajam, goyang, dll. Tapi, isinya yang gak bermanfaat. Ya memang gak harus bikin konten motivasi, tips, atau semacamnya. Tapi, setidaknya hindari konten yang membahayakan atau semacamnya.
Jangan sampai ketika ramai, bikin pembelaan dengan bilang ‘suka-suka gue’. Atau dengan mudah tinggal minta maaf.
Berasa relate dengan kehidupan di perkotaan zaman sekarang.
Aku sering banget memikirkan hal ini, mengenai sebuah Privilege.
Hal sesederhana “Mau jadi dokter” aja kudu punya silsilah keluarga dokter kan yaa.. biar lebih mudah dalam mengambil kerja praktek, misalnya.. apalagi sampai penempatan.
Beneran se-penting itu uang dan koneksi.
Tapi semoga kita semua tidak terjebak dengan paradigma seperti ini dan tetap ada kekuatan doa, usaha dan faktor luck disana.
Saya suka nih tema buku kayak gini, mengulas tentang isu kesehatan mental yang relate sama kehidupan anak muda saat ini. Bukunya ringan tapi banyak pesan moral yang bisa diambil.
Nah bener banget nih garis start tiap orang kan beda-beda ya, tapi kadang orang tuh nggak fokus di progress dari titik awal (start) malah fokusnya ke garis finish-nya. Padahal kan nggak bisa disamain. Perjuangan setiap orang berbeda dan unik. Suka banget sama quote terakhir dari buku ini, relate banget sama aku.
bagus banget pesan dan cerita buku ini. cocok dengan keadaan saat ini. setuju banget untuk tidak membandingkan proses orang, selain beda pribadi, garis start tiap orang juga beda
Kaya motivasi membangun , nih, bukunya, ya, Kak. Btw, saya juga udah mulai ngurangin CO buku, tapi kok ya sepertinya godaan beli buku ini besar sekaleee. Hehehe.
Sekilas buku ini juga mengangkat problematika kekinian yang ada di masyarakat ya, penjelasan isi buku juga sederhana dan mudah dipahami. Jadi tertarik buat baca juga.
Paling suka dengan tema bacaan sepert ini. Seperti ada roh motivasinya. dan rasanya aku yang baca jadi ikut ambil peran di buku ini. Hahaha…keren euy. Semoga makin banyak karya-karya dari para penulis Indonesia seperti ini ya.