Mengenal Budaya Umat Hindu di Pura Aditya Jaya Rawamangun

Di tengah banyaknya pekerjaan kantor, pada siang itu saya dibuat galau oleh percakapan beberapa teman di grup WA. Mereka sedang merencanakan trip dadakan ke beberapa tempat ibadah di Jakarta. Kuota trip kali ini dibatasi untuk 15 peserta saja, dan selang beberapa menit kemudian sudah banyak yang isi list untuk ikut trip tersebut.

Saat itu kebetulan ada hari Libur Nasional karena pilkada serentak di beberapa daerah. Namun sayangnya pak bos di kantor belum ketok palu kalau besok diliburkan, mengingat Jakarta tidak ikut pilkada. Galaulah saya antara isi list takut kuota penuh atau isi list nanti saja ketika sudah pasti kantor diliburkan.

Kuota tersisa satu lagi, dengan ragu-ragu akhirnya saya mengisi list tersebut padahal pak bos belum ketok palu besok libur atau nggaknya. Bismillah saja besok libur haha dan ternyata doa saya terkabul, dengan terpaksa pak bos menginformasikan besok libur.

Malam sebelum trip itu, Bapak CP memberitahukan itinerary beserta beberapa catatan penting yang harus diperhatikan oleh semua peserta. Kemudian besok paginya saya sudah tergabung di grup WA khusus untuk trip ini. Trip ini diberi nama “Diversity Walking Tour” oleh Bapak CP, Deni Oey.

Rencananya kami akan mengunjungi beberapa tempat ibadah dari berbagai agama yang ada di Jakarta. Kami akan mengunjungi Pura Aditya Jaya Rawamangun, Masjid Ramlie Mustofa, Gereja Ayam, GPIB Pniel, Vihara Dharma Jaya/ SinTek Bio, Hare Krishna Temple, Gereja Katedral dan Masjid Istiqlal.

Namun kali ini saya hanya akan bercerita tentang tujuan pertama dari trip ini, yaitu Pura Aditya Jaya Rawamangun. Mungkin saya akan bercerita juga tentang tempat ibadah lainnya tapi di tulisan berikutnya.

Drama Menuju Pura Aditya Jaya Rawamangun

Mengingat rumah saya cukup jauh, saya pun memutuskan untuk naik busway. Saya naik busway tujuan PGC dari Halte Gatot Subroto Jamsostek, kemudian transit di Halte UKI dan melanjutkan dengan busway tujuan Tj. Priok. Setelah itu turun di Halte Pemuda Pramuka, dan dilanjutkan dengan berjalan kaki menuju Pura Aditya Jaya Rawamangun.

Sejujurnya ini pertama kalinya saya main ke daerah Rawamangun. Begitu turun di Halte Pemuda Pramuka seperti saran salah satu teman di grup WA, saya pun bingung harus jalan ke arah mana. Berulang kali melihat google maps yang ada malah bingung sendiri, kemudian nanya ke orang yang lewat malah membuat saya tambah bingung. Mohon dimaklum ya Antin memang rada bermasalah dalam membaca petunjuk arah.

Saya pun berdiam sesaat sambil melihat google maps dan berjalan pelan. Begitu bahagianya saya ketika melihat bulatan biru di google maps yang bergerak mendekati tujuan, saya pun yakin sudah berjalan ke arah yang benar.

Sudah berjalan lama tapi tidak sampai-sampai membuat saya sedikit lelah, apalagi ketika sampai di depan pintu pura ternyata ditutup. Beberapa teman di grup WA bilang masuknya melalui pintu belakang, ya ampun saya masih harus jalan kaki lagi seorang diri pula *rada miris memang 🙁

Dari pintu depan pura saya harus berjalan lurus sampai SPBU, kemudian belok kiri dan ikuti saja jalan itu. Karena tak kunjung sampai juga, saya pun bertanya dengan warga sekitar. Nggak kebayang kalau sampe salah jalan sedangkan sudah jalan sejauh ini, tapi kata warga sekitar benar di jalan ini dan saya hanya perlu berjalan lagi sampai belokan selanjutnya kemudian belok kiri.

Tidak jauh setelah belok kiri, sudah terlihat ada beberapa bale bercorak papan catur. Dari jauh saya melihat beberapa peserta trip yang sudah datang dan berkumpul di kantin. Saran saya jika kalian ingin ke Pura Aditya Jaya Rawamangun dengan naik busway, lebih baik turun di Halte Utan Kayu agar lebih dekat.

***

Baru juga saya sampai, pengurus pura sudah mempersilahkan kami masuk. Di sekitar luar pura terdapat beberapa bale dengan kain berpola papan catur, tempat mencuci tangan sebelum beribadah dan ada juga dua patung berwarna merah di bawah pohon beringin besar yang seolah menyambut setiap tamu yang datang ke pura ini.

Di depan pintu masuk pura terdapat sebuah bale (Wantilan) yang lumayan luas dan saat itu ada beberapa orang yang sedang belajar menari. Wantilan adalah bangunan besar di mana umat mempersiapkan persembahyangan. Selain itu wantilan juga berfungsi sebagai tempat pertunjukan kesenian, tempat bermalam, tempat persiapan piodalan, latihan menabuh, menari dan lainnya. Wantilan tidak selalu ada di Pura. Fungsi ini digantikan dengan bangunan yang lebih kecil yang disebut Bale Pererenan.

Sebelum masuk ke dalam Pura Aditya Jaya Rawamangun, kami dipinjamkan selendang kuning yang disimpan di depan pintu masuk pura. Selain itu kami juga dilarang menggunakan alas kaki. Kami pun menggunakan selendang kuning dan menyimpan alas kaki di tempat yang sudah disediakan.

Kalian tahu kenapa setiap umat Hindu beribadah selalu menggunakan selendang kuning yang disematkan di pinggang? Konon selendang berwarna kuning tersebut merupakan simbol penghormatan terhadap kesucian pura, dan memiliki arti pengikat niat jelek dalam diri manusia. Wah ternyata selendang kuning itu mempunyai arti yang cukup dalam untuk umat Hindu.

***

Untuk masuk ke dalam pura kami melewati Gerbang Paduraksa, Gerbang Paduraksa memiliki dua buah pintu kecil di sisi kanan dan kiri yang terbuat dari kayu dengan ukiran yang sangat bagus. Begitu masuk ke dalam pura aroma bunga kamboja dan sajen begitu tercium.

Kami dipersilahkan untuk berkumpul di Bale Ligong untuk bertemu dengan Bli Agung Nugraha. Bli Agung ini merupakan pemuka agama di Pura Aditya Jaya, beliau menyambut kami dengan sangat baik dan begitu antusias menceritakan tentang sejarah Pura Aditya Jaya, bagaimana mereka beribadah, bagaimana kepercayaan mereka dan bagaimana kita tetap harus menghargai agama lain. Setelah bercerita, Bli Agung mengajak kami berkeliling area dalam pura.

Bli Agung - pura aditya jaya rawamangun 4 - diantin.com
Bli Agung sedang bercerita

Tentang Pura Aditya Jaya Rawamangun

Pura Aditya Jaya Rawamangun merupakan pura terbesar dan terluas di Jakarta. Pura ini mulai dibangun di akhir 1970 dan diresmikan pada tanggal 12 Mei 1973. Peresmian pura ini dilakukan oleh Wakil Gubernur DKI Jakarta Bapak Ir. Prayogo dan Ngeteg Linggih.

Berdasarkan letak geografisnya Pura Aditya Jaya berlokasi di Jakarta Timur, persisnya di Jalan Daksinapati Raya No. 10 Rawamangun Jakarta Timur. Untuk mencapai Pura Aditya Jaya Rawamangun, kalian dapat masuk dari Jalan Daksinapati Raya dan dari Jalan di Penjaitan (by pass).

Berdasarkan informasi di adityatemple.ne, Struktur Pura Aditya Jaya Rawamangun terbagi atas tiga halaman/ mandala yaitu Kanisthama mandala (Jaba sisi), Madhyama Mandala (Jaba Tengah), dan Uttama Mandala (Jeroan).

Di area Uttama Mandala (Jeroan) terdapat Bale Ligong yang digunakan sebagai tempat perhelatan acara besar, ada juga Bale Poedan yang berada di samping candi. Bale Poedan digunakan sebagai tempat pemuka agama memimpin upacara. Selain itu, ada juga patung yang memakai udeng dan kain khas Bali, namanya Patung Barong. Pantung ini bertugas sebagai penjaga dari candi utama yang berada di wilayah tengah pura.

Setiap bangunan di tempat ini membuat saya takjub, apalagi ketika melihat kemegahan candi yang berada di tengah-tengah area Uttama Mandala (Jeroan). Setiap umat Hindu yang beribadah akan menyimpan sesajen di candi ini.

Candi yang menjulang dengan megahnya ini memiliki enam tingkat dan di atas candi tersebut terdapat patung berwarna keemasan. Patung tersebut akan dibersihkan ketika akan beribadah.

pura aditya jaya rawamangun 8 - diantin.com
Candi yang ada di Pura Aditya Jaya | Picture by Achmadi

Perbedaan Antara Hindu Bali Dengan Hindu Jawa

Selain bercerita tentang banyak hal, Bli Agung juga mempersilahkan kami untuk bertanya. Saat itu Bang Derus bertanya tentang perbedaan antara Hindu Bali dengan Hindu Jawa.

Menurut kepercayaan umat Hindu cara beribadah dipengaruhi dari budaya daerah sekitar. Jika di Bali umat Hindu beribadah menggunakan songket, di Jawa umat Hindu beribadah dengan menggunakan kain batik. Bukan hanya itu saja, untuk penyebutan Tuhan juga berbeda di Jawa menggunakan Gusti, sedang di Bali menggunakan Anak Agung. Saya sendiri baru tahu tentang perbedaan ini.

Namun walaupun penyebutan Tuhan dan cara berpakian yang berbeda, dari isi sajen yang disediakan bisa dibilang sama. Sajennya terdiri dari bunga, buah, dan makanan ringan.

Arti Peletakan Wija atau Bija

Kalian sering lihat umat Hindu yang menggunakan beras di jidatnya? Beras tersebut bernama Wija atau bija, biasanya dibuat dari biji beras yang dicuci dengan air bersih atau air cendana. Kadangkala juga dicampur kunyit (Curcuma Domestica VAL) sehingga berwarna kuning, maka disebutlah bija kuning.

Menurut inputbali.com, Wija atau bija adalah lambang Kumara, yaitu putra atau wija Bhatara Siwa. Pada hakekatnya yang dimaksud dengan Kumara adalah benih ke-Siwa-an/ Kedewataan yang bersemayam dalam diri setiap orang. Mawija mengandung makna menumbuh-kembangkan benih ke-Siwa-an itu dalam diri orang. Sehingga disarankan agar dapat menggunakan beras galih yaitu beras yang utuh, tidak patah (aksata). Alasan ilmiahnya, beras yang pecah atau terpotong tidak akan bisa tumbuh.

Bija sebaiknya diletakan pada titik-titik yang peka terhadap sifat dari  kedewataan/ke-Siwa-an, dan titik-titik dalam tubuh tersebut ada lima yang disebut Panca Adisesa.

  1. Di pusar yang disebut titik manipura cakra.
  2. Di hulu hati (padma hrdaya) zat ketuhanan diyakini paling terkonsentrasi di dalam bagian padma hrdaya ini (hati berbentuk bunga tunjung atau padma). Titik kedewataan ini disebut Hana hatta cakra.
  3. Di leher, diluar kerongkongan atau tenggorokan yang disebut wisuda cakra.
  4. Di dalam mulut atau langit-langit.
  5. Di antara dua alis mata yang disebut anjacakra. Sebenarnya letaknya yang lebih tepat, sedikit diatas, diantara dua alis mata itu.

Karena pada umumnya ketika persembahyangan menggunakan pakaian lengkap tentu tidak semua titik-titik tersebut dapat dengan mudah diletakkan bija. Maka cukup difokuskan pada 3 titik seperti:

  1. Pada Anjacakra, sedikit di atas, di antara dua alis. Tempat ini dianggap sebagai tempat mata ketiga (cudamani). Penempatan  bija di sini diharapkan menumbuhkan dan memberi sinar-sinar kebijaksanaan kepada orang yang bersangkutan.
  2. Pada Wisuda Cakra, di leher, diluar kerongkongan atau tenggorokan. Sebagai simbol penyucian  dengan harapan agar mendapatkan kebahagiaan.
  3. Di mulut, langsung ditelan jangan digigit atau dikunyah. Alasannya seperti tadi kalau dikunyah beras itu akan patah dan akhirnya tak tumbuh berkembang sifat kedewataan manusia. Sebagai simbol untuk menemukan kesucian rohani dengan harapan agar memperoleh kesempurnaan hidup.

Wejangan Bli Agung Untuk Kami Semua

Bli Agung bukan hanya bercerita tentang sejarah Pura Aditya Jaya Rawamangun, tapi Bli Agung juga memberikan beberapa wejangan kepada kami.

“Ketika hendak beribadah, banyak orang sibuk membersihkan diri tapi lupa untuk membersihkan tempat ibadahnya. Padahal, sebaiknya sebelum beribadah kita harus membersihkan tempat ibadahnya terlebih dahulu. Bukan hanya membersihkan diri saja tapi tempat ibadahnya dibiarkan kotor. Kita saja tidak suka tempat kotor, bagaimana dengan Tuhan.” – Bli Agung

Wejangan Bli Agung tentang kebersihan tempat ibadah cukup menampar saya untuk lebih peka lagi dengan tempat ibadah, bukan hanya sibuk membersihkan diri saja tapi harus memperhatikan kebersihan tempat ibadah juga. Selain itu Bli Agung juga mengatakan jika kita beribadah maka lakukanlah dari hati dan tamparan kedua dari Bli Agung mengingatkan tentang kejujuran.

“Kamu bisa membohongi saya, tapi kamu tidak bisa membohongi Tuhan.”

Oh ya, seperti halnya perempuan dalam Islam, perempuan umat Hindu juga tidak beribadah ketika menstruasi.

***

Intinya saya banyak belajar dari perjalanan kali ini. Bukan hanya mengetahui ada pura yang begitu indah di Jakarta, saya juga jadi tahu lebih banyak tentang budaya umat Hindu.

Selain itu saya jadi belajar tentang kejujuran dan arti dari menghargai agama lain. Dan tentu saja jadi punya foto-foto keren ala-ala liburan di Bali.

Jika kalian perhatikan dengan seksama, ternyata cara beribadah umat Hindu hampir sama dengan umat Islam. Umat Hindu mencuci tangan ketika akan beribadah dan perempuan yang sedang menstruasi pun dilarang beribadah, sama seperti umat Islam yang harus berwudhu ketika akan beribadah dan tentu saja perempuan yang menstruasi dilarang beribadah juga.

Untuk kalian para perempuan yang akan berkunjung ke Pura Aditya Jaya Rawamangun, pastikan kalian tidak sedang menstuasi ya 🙂

76 pemikiran pada “Mengenal Budaya Umat Hindu di Pura Aditya Jaya Rawamangun”

  1. sewaktu itu aku kepingin ke pura parahyangan agung jagatkarta yang di bogor, dan pas baca-baca peraturannya, ternyata ga boleh masuk yang sedang menstruasi. tapi, ah gpp kali ya kalo ga ketahuan. tapi karena dasar menghormati peraturan tempat peribadatan dan penasaran gimana kalau paksa masuk, akhirnya aku tanya ke temenku yang beragama hindu. temenku bilang, nanti bisa celaka atau dapat hal yang tidak diinginkan sepulag dari sana hehe seperti yang Bli Agung bilang sehingga mengurungkan diri deh.

    Balas
  2. Ceritanya menarik. saling menghormati itu tidak segampang menulis di lembar kertas jawaban ujian, semoga dapat diambil hikmah untuk kita semua, semoga.

    Balas
  3. Antin! persis banget waktu aku ke Pura di Bogor juga gitu, ga boleh masuk kalu lagi mens, dan dari rombongan ku yang lagi mens aku doang. Nasib emang huhu jdi terpaksa nunggu di luar haha.

    Ah jadi pengin ikut trip kaya gini iih. Next mudah”an dibolehin gabung dan pas juga waktunya hehehe

    Balas
  4. Pura Aditya Jaya deket banget dari rumah saya. Dulu sering ke sana hanya untuk melihat yang sedang latihan tari bali, tapi hanya di pelataran ndak pernah keliling pura. Makasih kak Antin untuk info lengkapnya. Cuzz ah kesana, bareng yuks kak Antin

    Balas
  5. Sangat detail.. Jadi berasa ikut jalan-jalan..
    Nitip pesan buat Bapak CP nya.. Kapan ngada-in lg.. Semoga waktu nya gak bentrok.. 🙂

    Balas
  6. Ah. Kemarin waktunya tidak tepat, jadi tidak ikut menikmati Jakarta rasa Bali di Pura ini. Wejangannya pun ngena, untuk semua agama.

    Balas
  7. Komplit banget Antin.
    Makasi loh udah dibantu jelasin.
    Yg membekas di gw adalah ketika bapaknya bilang, saat dia lagi acara Nyepi, lg semedi didatangi sosok spiritual. Yang harus bersihin lokasi ibadah itu loh seharusnya sebelum Nyepi. Speechless.

    Balas
  8. Adat budaya hindu memang sangat kental, aku pernah sekali datang ke pura ini buat mengantar temanku ibadah. Berada disana terasa lagi ada di bali.

    Balas
  9. Oh ternyata umat Hindu juga gak boleh ibadah ya mbak kl lagi menstruasi, saya kira hanya umat islam aja yg gak boleh ibadah. Emangbsih, intinya beribadah di saat kita sedang bersih dan suci dari hadas besar maupun kecil

    Balas
  10. Hahaha sama mba. Aku juga tipe yang suka nyasar kalau pergi-pergi. Sepertinya kecerdasan kita tidak terletak di spatial hahha. Baca-baca liburan mba, bikin saya senyum-senyum sendiri. Soalnya belum sampai tempat tujuan udah lelah duluan. Perjuangan ya mba 😃

    Balas
  11. Waw..banyak pembelajaran berharga nih baca ini. Aku baru tau loh ttg arti ikatan selendang kuning itu pas baca ini. Mmg tiap budaya dan tradisi itu unik ya. Bangganya jadi orang indonesia yg keberagamannya amazing. 🙂

    Balas
  12. Ealah Gusti itu asalnya dari Hindu ya, saya kira dari Islam Jawa. Mungkin ini yang namanya akulturasi ya, eh asimilasi, eh yah sejenis itu. Hindu dan Islam klo di Jawa memang nampak seiring

    Balas
  13. Seru banget ceritanya mbak 😀
    Jd tau kalau Hindu Jawa dan Bali jg beda.
    Acara2 kyk gini bikin kita paham akan umat lain, yg berbeda dgn kita, selian itu membuka wawasan ya biar pikiran gak cupet dan mudah terprovokasi TFS

    Balas
  14. Wah baru tahu nih kalau kain kuning itu bukan sekadar pakaian melainkan ada maknanya juga. Nice post sih. Nge-share ga nanggung-nanggung, yang baca jadi nambah juga pengetahuannya.

    Balas
  15. Malang benar nasibku waktu itu tidak bisa ikut trip retjeh.
    Semoga diadakan lagi dan aku bisa ikut.
    Senang ya bisa tahu tentang kepercayaan orang lain dengan segala keunikannya.
    Puranya juga bagus dan masih di Jakarta pula.
    Kunjungan kesini harus ijin dulu tidak sih dik Atin?

    Balas
  16. Jadi dapat banyak info setelah baca tulisan ini termasuk penyebutan nama tuhan di Jawa dgn Gusti itu ngikutin adat Hindu. Padahal eyang2 di Jawa yang muslim juga kebiasaan nyebutnya Gusti. Makasih infonya Mba.

    Balas
  17. Wah wejangannya bagus2 ya.. Bli Agung dari tulisan antin keliatan yang sabar ramah terus ngasih wejangan2 bijak.. adem gitu bacanya.
    Masih iri gabisa ikut trip ini. Hiks

    Balas

Tinggalkan komentar