Di tengah banyaknya pekerjaan kantor, pada siang itu saya dibuat galau oleh percakapan beberapa teman di grup WA. Mereka sedang merencanakan trip dadakan ke beberapa tempat ibadah di Jakarta. Kuota trip kali ini dibatasi untuk 15 peserta saja, dan selang beberapa menit kemudian sudah banyak yang isi list untuk ikut trip tersebut.
Saat itu kebetulan ada hari Libur Nasional karena pilkada serentak di beberapa daerah. Namun sayangnya pak bos di kantor belum ketok palu kalau besok diliburkan, mengingat Jakarta tidak ikut pilkada. Galaulah saya antara isi list takut kuota penuh atau isi list nanti saja ketika sudah pasti kantor diliburkan.
Kuota tersisa satu lagi, dengan ragu-ragu akhirnya saya mengisi list tersebut padahal pak bos belum ketok palu besok libur atau nggaknya. Bismillah saja besok libur haha dan ternyata doa saya terkabul, dengan terpaksa pak bos menginformasikan besok libur.
Malam sebelum trip itu, Bapak CP memberitahukan itinerary beserta beberapa catatan penting yang harus diperhatikan oleh semua peserta. Kemudian besok paginya saya sudah tergabung di grup WA khusus untuk trip ini. Trip ini diberi nama “Diversity Walking Tour” oleh Bapak CP, Deni Oey.
Rencananya kami akan mengunjungi beberapa tempat ibadah dari berbagai agama yang ada di Jakarta. Kami akan mengunjungi Pura Aditya Jaya Rawamangun, Masjid Ramlie Mustofa, Gereja Ayam, GPIB Pniel, Vihara Dharma Jaya/ SinTek Bio, Hare Krishna Temple, Gereja Katedral dan Masjid Istiqlal.
Namun kali ini saya hanya akan bercerita tentang tujuan pertama dari trip ini, yaitu Pura Aditya Jaya Rawamangun. Mungkin saya akan bercerita juga tentang tempat ibadah lainnya tapi di tulisan berikutnya.
Drama Menuju Pura Aditya Jaya Rawamangun
Mengingat rumah saya cukup jauh, saya pun memutuskan untuk naik busway. Saya naik busway tujuan PGC dari Halte Gatot Subroto Jamsostek, kemudian transit di Halte UKI dan melanjutkan dengan busway tujuan Tj. Priok. Setelah itu turun di Halte Pemuda Pramuka, dan dilanjutkan dengan berjalan kaki menuju Pura Aditya Jaya Rawamangun.
Sejujurnya ini pertama kalinya saya main ke daerah Rawamangun. Begitu turun di Halte Pemuda Pramuka seperti saran salah satu teman di grup WA, saya pun bingung harus jalan ke arah mana. Berulang kali melihat google maps yang ada malah bingung sendiri, kemudian nanya ke orang yang lewat malah membuat saya tambah bingung. Mohon dimaklum ya Antin memang rada bermasalah dalam membaca petunjuk arah.
Saya pun berdiam sesaat sambil melihat google maps dan berjalan pelan. Begitu bahagianya saya ketika melihat bulatan biru di google maps yang bergerak mendekati tujuan, saya pun yakin sudah berjalan ke arah yang benar.
Sudah berjalan lama tapi tidak sampai-sampai membuat saya sedikit lelah, apalagi ketika sampai di depan pintu pura ternyata ditutup. Beberapa teman di grup WA bilang masuknya melalui pintu belakang, ya ampun saya masih harus jalan kaki lagi seorang diri pula *rada miris memang 🙁
Dari pintu depan pura saya harus berjalan lurus sampai SPBU, kemudian belok kiri dan ikuti saja jalan itu. Karena tak kunjung sampai juga, saya pun bertanya dengan warga sekitar. Nggak kebayang kalau sampe salah jalan sedangkan sudah jalan sejauh ini, tapi kata warga sekitar benar di jalan ini dan saya hanya perlu berjalan lagi sampai belokan selanjutnya kemudian belok kiri.
Tidak jauh setelah belok kiri, sudah terlihat ada beberapa bale bercorak papan catur. Dari jauh saya melihat beberapa peserta trip yang sudah datang dan berkumpul di kantin. Saran saya jika kalian ingin ke Pura Aditya Jaya Rawamangun dengan naik busway, lebih baik turun di Halte Utan Kayu agar lebih dekat.
***
Baru juga saya sampai, pengurus pura sudah mempersilahkan kami masuk. Di sekitar luar pura terdapat beberapa bale dengan kain berpola papan catur, tempat mencuci tangan sebelum beribadah dan ada juga dua patung berwarna merah di bawah pohon beringin besar yang seolah menyambut setiap tamu yang datang ke pura ini.
Di depan pintu masuk pura terdapat sebuah bale (Wantilan) yang lumayan luas dan saat itu ada beberapa orang yang sedang belajar menari. Wantilan adalah bangunan besar di mana umat mempersiapkan persembahyangan. Selain itu wantilan juga berfungsi sebagai tempat pertunjukan kesenian, tempat bermalam, tempat persiapan piodalan, latihan menabuh, menari dan lainnya. Wantilan tidak selalu ada di Pura. Fungsi ini digantikan dengan bangunan yang lebih kecil yang disebut Bale Pererenan.
Sebelum masuk ke dalam Pura Aditya Jaya Rawamangun, kami dipinjamkan selendang kuning yang disimpan di depan pintu masuk pura. Selain itu kami juga dilarang menggunakan alas kaki. Kami pun menggunakan selendang kuning dan menyimpan alas kaki di tempat yang sudah disediakan.
Kalian tahu kenapa setiap umat Hindu beribadah selalu menggunakan selendang kuning yang disematkan di pinggang? Konon selendang berwarna kuning tersebut merupakan simbol penghormatan terhadap kesucian pura, dan memiliki arti pengikat niat jelek dalam diri manusia. Wah ternyata selendang kuning itu mempunyai arti yang cukup dalam untuk umat Hindu.
***
Untuk masuk ke dalam pura kami melewati Gerbang Paduraksa, Gerbang Paduraksa memiliki dua buah pintu kecil di sisi kanan dan kiri yang terbuat dari kayu dengan ukiran yang sangat bagus. Begitu masuk ke dalam pura aroma bunga kamboja dan sajen begitu tercium.
Kami dipersilahkan untuk berkumpul di Bale Ligong untuk bertemu dengan Bli Agung Nugraha. Bli Agung ini merupakan pemuka agama di Pura Aditya Jaya, beliau menyambut kami dengan sangat baik dan begitu antusias menceritakan tentang sejarah Pura Aditya Jaya, bagaimana mereka beribadah, bagaimana kepercayaan mereka dan bagaimana kita tetap harus menghargai agama lain. Setelah bercerita, Bli Agung mengajak kami berkeliling area dalam pura.

Tentang Pura Aditya Jaya Rawamangun
Pura Aditya Jaya Rawamangun merupakan pura terbesar dan terluas di Jakarta. Pura ini mulai dibangun di akhir 1970 dan diresmikan pada tanggal 12 Mei 1973. Peresmian pura ini dilakukan oleh Wakil Gubernur DKI Jakarta Bapak Ir. Prayogo dan Ngeteg Linggih.
Berdasarkan letak geografisnya Pura Aditya Jaya berlokasi di Jakarta Timur, persisnya di Jalan Daksinapati Raya No. 10 Rawamangun Jakarta Timur. Untuk mencapai Pura Aditya Jaya Rawamangun, kalian dapat masuk dari Jalan Daksinapati Raya dan dari Jalan di Penjaitan (by pass).
Berdasarkan informasi di adityatemple.ne, Struktur Pura Aditya Jaya Rawamangun terbagi atas tiga halaman/ mandala yaitu Kanisthama mandala (Jaba sisi), Madhyama Mandala (Jaba Tengah), dan Uttama Mandala (Jeroan).
Di area Uttama Mandala (Jeroan) terdapat Bale Ligong yang digunakan sebagai tempat perhelatan acara besar, ada juga Bale Poedan yang berada di samping candi. Bale Poedan digunakan sebagai tempat pemuka agama memimpin upacara. Selain itu, ada juga patung yang memakai udeng dan kain khas Bali, namanya Patung Barong. Pantung ini bertugas sebagai penjaga dari candi utama yang berada di wilayah tengah pura.
Setiap bangunan di tempat ini membuat saya takjub, apalagi ketika melihat kemegahan candi yang berada di tengah-tengah area Uttama Mandala (Jeroan). Setiap umat Hindu yang beribadah akan menyimpan sesajen di candi ini.
Candi yang menjulang dengan megahnya ini memiliki enam tingkat dan di atas candi tersebut terdapat patung berwarna keemasan. Patung tersebut akan dibersihkan ketika akan beribadah.

Perbedaan Antara Hindu Bali Dengan Hindu Jawa
Selain bercerita tentang banyak hal, Bli Agung juga mempersilahkan kami untuk bertanya. Saat itu Bang Derus bertanya tentang perbedaan antara Hindu Bali dengan Hindu Jawa.
Menurut kepercayaan umat Hindu cara beribadah dipengaruhi dari budaya daerah sekitar. Jika di Bali umat Hindu beribadah menggunakan songket, di Jawa umat Hindu beribadah dengan menggunakan kain batik. Bukan hanya itu saja, untuk penyebutan Tuhan juga berbeda di Jawa menggunakan Gusti, sedang di Bali menggunakan Anak Agung. Saya sendiri baru tahu tentang perbedaan ini.
Namun walaupun penyebutan Tuhan dan cara berpakian yang berbeda, dari isi sajen yang disediakan bisa dibilang sama. Sajennya terdiri dari bunga, buah, dan makanan ringan.
Arti Peletakan Wija atau Bija
Kalian sering lihat umat Hindu yang menggunakan beras di jidatnya? Beras tersebut bernama Wija atau bija, biasanya dibuat dari biji beras yang dicuci dengan air bersih atau air cendana. Kadangkala juga dicampur kunyit (Curcuma Domestica VAL) sehingga berwarna kuning, maka disebutlah bija kuning.
Menurut inputbali.com, Wija atau bija adalah lambang Kumara, yaitu putra atau wija Bhatara Siwa. Pada hakekatnya yang dimaksud dengan Kumara adalah benih ke-Siwa-an/ Kedewataan yang bersemayam dalam diri setiap orang. Mawija mengandung makna menumbuh-kembangkan benih ke-Siwa-an itu dalam diri orang. Sehingga disarankan agar dapat menggunakan beras galih yaitu beras yang utuh, tidak patah (aksata). Alasan ilmiahnya, beras yang pecah atau terpotong tidak akan bisa tumbuh.
Bija sebaiknya diletakan pada titik-titik yang peka terhadap sifat dari kedewataan/ke-Siwa-an, dan titik-titik dalam tubuh tersebut ada lima yang disebut Panca Adisesa.
- Di pusar yang disebut titik manipura cakra.
- Di hulu hati (padma hrdaya) zat ketuhanan diyakini paling terkonsentrasi di dalam bagian padma hrdaya ini (hati berbentuk bunga tunjung atau padma). Titik kedewataan ini disebut Hana hatta cakra.
- Di leher, diluar kerongkongan atau tenggorokan yang disebut wisuda cakra.
- Di dalam mulut atau langit-langit.
- Di antara dua alis mata yang disebut anjacakra. Sebenarnya letaknya yang lebih tepat, sedikit diatas, diantara dua alis mata itu.
Karena pada umumnya ketika persembahyangan menggunakan pakaian lengkap tentu tidak semua titik-titik tersebut dapat dengan mudah diletakkan bija. Maka cukup difokuskan pada 3 titik seperti:
- Pada Anjacakra, sedikit di atas, di antara dua alis. Tempat ini dianggap sebagai tempat mata ketiga (cudamani). Penempatan bija di sini diharapkan menumbuhkan dan memberi sinar-sinar kebijaksanaan kepada orang yang bersangkutan.
- Pada Wisuda Cakra, di leher, diluar kerongkongan atau tenggorokan. Sebagai simbol penyucian dengan harapan agar mendapatkan kebahagiaan.
- Di mulut, langsung ditelan jangan digigit atau dikunyah. Alasannya seperti tadi kalau dikunyah beras itu akan patah dan akhirnya tak tumbuh berkembang sifat kedewataan manusia. Sebagai simbol untuk menemukan kesucian rohani dengan harapan agar memperoleh kesempurnaan hidup.
Wejangan Bli Agung Untuk Kami Semua
Bli Agung bukan hanya bercerita tentang sejarah Pura Aditya Jaya Rawamangun, tapi Bli Agung juga memberikan beberapa wejangan kepada kami.
“Ketika hendak beribadah, banyak orang sibuk membersihkan diri tapi lupa untuk membersihkan tempat ibadahnya. Padahal, sebaiknya sebelum beribadah kita harus membersihkan tempat ibadahnya terlebih dahulu. Bukan hanya membersihkan diri saja tapi tempat ibadahnya dibiarkan kotor. Kita saja tidak suka tempat kotor, bagaimana dengan Tuhan.” – Bli Agung
Wejangan Bli Agung tentang kebersihan tempat ibadah cukup menampar saya untuk lebih peka lagi dengan tempat ibadah, bukan hanya sibuk membersihkan diri saja tapi harus memperhatikan kebersihan tempat ibadah juga. Selain itu Bli Agung juga mengatakan jika kita beribadah maka lakukanlah dari hati dan tamparan kedua dari Bli Agung mengingatkan tentang kejujuran.
“Kamu bisa membohongi saya, tapi kamu tidak bisa membohongi Tuhan.”
Oh ya, seperti halnya perempuan dalam Islam, perempuan umat Hindu juga tidak beribadah ketika menstruasi.
***
Intinya saya banyak belajar dari perjalanan kali ini. Bukan hanya mengetahui ada pura yang begitu indah di Jakarta, saya juga jadi tahu lebih banyak tentang budaya umat Hindu.
Selain itu saya jadi belajar tentang kejujuran dan arti dari menghargai agama lain. Dan tentu saja jadi punya foto-foto keren ala-ala liburan di Bali.
Jika kalian perhatikan dengan seksama, ternyata cara beribadah umat Hindu hampir sama dengan umat Islam. Umat Hindu mencuci tangan ketika akan beribadah dan perempuan yang sedang menstruasi pun dilarang beribadah, sama seperti umat Islam yang harus berwudhu ketika akan beribadah dan tentu saja perempuan yang menstruasi dilarang beribadah juga.
Untuk kalian para perempuan yang akan berkunjung ke Pura Aditya Jaya Rawamangun, pastikan kalian tidak sedang menstuasi ya 🙂
sewaktu itu aku kepingin ke pura parahyangan agung jagatkarta yang di bogor, dan pas baca-baca peraturannya, ternyata ga boleh masuk yang sedang menstruasi. tapi, ah gpp kali ya kalo ga ketahuan. tapi karena dasar menghormati peraturan tempat peribadatan dan penasaran gimana kalau paksa masuk, akhirnya aku tanya ke temenku yang beragama hindu. temenku bilang, nanti bisa celaka atau dapat hal yang tidak diinginkan sepulag dari sana hehe seperti yang Bli Agung bilang sehingga mengurungkan diri deh.
Iya kata Bli Agung kalo melanggar pulangnya bisa kenapa-kenapa kar.
Semoga Antin baik-baik saja, ya. Lain kali jangan bandel, hehehehe. Bli bisa dibohongi, tapi tidak demikian dengan Tuhan. =)
Amiiinnn, semoga tidak ada kejadian apapun di kemudian hari.
Siap kak maria, Antin nggak bandel lagi 🙂
Semoga kalo ada diversity walking tour lagi Antin tidak membohongi Tuhan lagi..
Ttd
Bapak CP
Hahaha siap Bapak CP, kemarin lupa sebelum trip nggak nanya-nanya dulu padahal ke tempat ibadah 😑😑
Ceritanya menarik. saling menghormati itu tidak segampang menulis di lembar kertas jawaban ujian, semoga dapat diambil hikmah untuk kita semua, semoga.
Antin! persis banget waktu aku ke Pura di Bogor juga gitu, ga boleh masuk kalu lagi mens, dan dari rombongan ku yang lagi mens aku doang. Nasib emang huhu jdi terpaksa nunggu di luar haha.
Ah jadi pengin ikut trip kaya gini iih. Next mudah”an dibolehin gabung dan pas juga waktunya hehehe
Iya ayo dong kak kapan-kapan ikutan, belum pernah trip bareng kita 😀
Pura Aditya Jaya deket banget dari rumah saya. Dulu sering ke sana hanya untuk melihat yang sedang latihan tari bali, tapi hanya di pelataran ndak pernah keliling pura. Makasih kak Antin untuk info lengkapnya. Cuzz ah kesana, bareng yuks kak Antin
Hayu mbak, aku belum puas eksplore juga.
Bener nih aku juga dibuat galau pada waktu itu , next dibuat lagi donk dan mudah2an bisa ikutan
Tapi aku beruntung bisa ikutan, cha hehe
Ayo ayo besok-besok kalo ada lagi ikutan yuk.
Apakah pernah ada orang yang dalam keadaan menstruasi ke pura rawamangun ya?
Sangat detail.. Jadi berasa ikut jalan-jalan..
Nitip pesan buat Bapak CP nya.. Kapan ngada-in lg.. Semoga waktu nya gak bentrok.. 🙂
Dicolek aja bapak cp-nya kak, suruh bikin trip retjeh lagi 😁
Ah ini trip yang membuat iri hati, hanya bisa memandang fotonya sambil menikmati kopi susu di Vietnam sana.
Iya nih kurang kak yun, kalo ada tambah seru kak.
Ah. Kemarin waktunya tidak tepat, jadi tidak ikut menikmati Jakarta rasa Bali di Pura ini. Wejangannya pun ngena, untuk semua agama.
Yuk ke sana lagi bang taumy
Beraneka ragam sekali ya budaya kita, bahkan cara beribadah kepada Tuhan pun ada macam2 mengikuti budaya. Keren ulasannya, Kak Antin. Semoga besok2 ga nyasar lagi ya. 🙊
Nyasar sepertinya udah jadi kebiasaan kak haha
Saya baru tau kalau bagian dalamnya seperti itu. Kayaknya kalau udha di dalam gak bakal berasa hiruk pikuk Jakarta, ya. Padahal lokasinya dekat jalan besar 🙂
Betul mbak, aku juga heran di dalam terasa begitu hening dan damai padahal di dekat jalan raya.
Waahh baru tau ternyata umat hindu klo lagi mensturasi ga boleh ibadah, sama seperti di ajaran islam
Iya sama mbak, aku juga baru tau pas ke sini.
Komplit banget Antin.
Makasi loh udah dibantu jelasin.
Yg membekas di gw adalah ketika bapaknya bilang, saat dia lagi acara Nyepi, lg semedi didatangi sosok spiritual. Yang harus bersihin lokasi ibadah itu loh seharusnya sebelum Nyepi. Speechless.
Sama-sama kak inez, iya aku juga inget banget kalimat yang itu kak.
Adat budaya hindu memang sangat kental, aku pernah sekali datang ke pura ini buat mengantar temanku ibadah. Berada disana terasa lagi ada di bali.
Harusnya bisa ikut trip ini tapi apadaya karena masuk kerja jadi ga bisa huhuhu.
Next time ikutan day
komplit banget antin..
banyak info yang gue dapet disini 🙂
Rupanya Rawamangun banyam menyimpan tempat menarik ya untuk dikunjungi. Makasih udah sharing artikel ini.
Deket rumah ini… tapi gw sendiri belum pernah masuk ke dalem
Sekali-kali coba masuk ke dalem bang, terus ngobrol sama pemangku pura.
Aku suka artikel ini
Endingnya ada pesan utk pembaca
Makasih desi.
Ada foto kita yang sama ternyata. Jadi kangen jalan-jalan bareng kubbu lagi pas baca ini. Hoaaa
Oh ya? Aku sebagian ambil foto yang Bang Madi share. Iya ih pengen trip lagi ya ram.
Ulasannya lengkap. Baru tau bedanya hindu jawa dan Bali penyebutannya Gusti dan anak Agung.
Lengkap Ka ulasannya. Saya baru tau makna dari selendang kuning itu. Makasih sudah berbagi
Sama-sama, Kak Reno.
Oh ternyata umat Hindu juga gak boleh ibadah ya mbak kl lagi menstruasi, saya kira hanya umat islam aja yg gak boleh ibadah. Emangbsih, intinya beribadah di saat kita sedang bersih dan suci dari hadas besar maupun kecil
Iya mbak nggak boleh beribadah kalo lagi menstruasi dan nggak boleh masuk ke pura juga.
Keren ka Antin ulasannya, ditunggu ulasan2 rumah ibadah selanjutnya 🙂
Makasih Agnes, ditunggu ya ulasan tempat ibadah berikutnya 😊
Hahaha sama mba. Aku juga tipe yang suka nyasar kalau pergi-pergi. Sepertinya kecerdasan kita tidak terletak di spatial hahha. Baca-baca liburan mba, bikin saya senyum-senyum sendiri. Soalnya belum sampai tempat tujuan udah lelah duluan. Perjuangan ya mba 😃
Wah sama kita mbak haha
Pas ngalamin mah kesel akunya mbak, eh pas nulis ini malah senyum-senyum juga haha
Hoh ini yang selalu terlihat dari jalan itu, aku penasaran sebenarnya sama dalamnya dan pas lihat ini jadi kepengen main kesana juga. Belajar dan mengenal perbedaan memang sangat indah ya mbak.
Mampir mbak terus ngobrol sama pemangku puranya, selain bisa foto-foto ala liburan di bali kita juga jadi mengenal lebih dalam budaya umat hindu.
Waa makasih, jadi tau tentang budaya dan tradisi umat hindu. Jalan-jalan memang bisa yang anti mainstream ky gini ya, jadi makin tau dan bisa saling toleransi
Betul sekali mbak, kita jadi lebih menghargai perbedaan juga.
Wow, boleh ya dijadikan tempat trip begini? Tapi ada syarat2nya ya, seperti gak boleh ke sana kalau pas lagi mens.
Boleh mbak asalkan tidak mengganggu yang beribadah dan untuk perempuan tidak sedang menstruasi.
Waw..banyak pembelajaran berharga nih baca ini. Aku baru tau loh ttg arti ikatan selendang kuning itu pas baca ini. Mmg tiap budaya dan tradisi itu unik ya. Bangganya jadi orang indonesia yg keberagamannya amazing. 🙂
Informasi tentang hindu baru aku dapatkan di tulisan ini kak. Sebelumnya aku bingung memang kenapa selalu ada selendang kuning dan beras di atas alis mereka. Ternyata bagus banget artinya.
Ealah Gusti itu asalnya dari Hindu ya, saya kira dari Islam Jawa. Mungkin ini yang namanya akulturasi ya, eh asimilasi, eh yah sejenis itu. Hindu dan Islam klo di Jawa memang nampak seiring
Belajar pada agama lain bukan bermaksud pindah agama, akan tetapi belajar untuk memghargai perbedaan agama lain. Karena indonesia itu beragam agama
Betul banget, Mbak. Kita jadi saling menghargai walaupun berbeda kepercayaan.
Seru banget ceritanya mbak 😀
Jd tau kalau Hindu Jawa dan Bali jg beda.
Acara2 kyk gini bikin kita paham akan umat lain, yg berbeda dgn kita, selian itu membuka wawasan ya biar pikiran gak cupet dan mudah terprovokasi TFS
ulasannya detail banget mbak.. serasa masuk kesitu 😁
Wah baru tahu nih kalau kain kuning itu bukan sekadar pakaian melainkan ada maknanya juga. Nice post sih. Nge-share ga nanggung-nanggung, yang baca jadi nambah juga pengetahuannya.
Malang benar nasibku waktu itu tidak bisa ikut trip retjeh.
Semoga diadakan lagi dan aku bisa ikut.
Senang ya bisa tahu tentang kepercayaan orang lain dengan segala keunikannya.
Puranya juga bagus dan masih di Jakarta pula.
Kunjungan kesini harus ijin dulu tidak sih dik Atin?
Kemarin ijin langsung pas hari H deh kayanya mbak, untuk lebih jelasnya bisa tanya-tanya ke Denny langsung.
Aku baru tau istilah beras yang ditempel di jidat itu namanya wija. Next kita ke pura arthmjati cinere kuy
Hayu Mas mau banget, hari minggu dong atau hari sabtu pas aku libur hehe
Jadi membayangkan ada di Bali melihat foto-fotonya. Perbedaan penyebutan Tuhan yang baru aku tahu.
Ke Pura ini harus ijin dulu ga sih, Antin? Rawamangun deket banget inih… Hehehe…
Kemarin kayanya ijin langsung pas hari H mbak, waktu itu kan tripnya juga dadakan. Cuslah mbak ke sana kalo deket mah.
Jadi dapat banyak info setelah baca tulisan ini termasuk penyebutan nama tuhan di Jawa dgn Gusti itu ngikutin adat Hindu. Padahal eyang2 di Jawa yang muslim juga kebiasaan nyebutnya Gusti. Makasih infonya Mba.
Aku juga tertarik nih wisata regili semua agama untuk ilmu, tapi memang harus hati-hati&patuhi peraturan setempat ya
Wah wejangannya bagus2 ya.. Bli Agung dari tulisan antin keliatan yang sabar ramah terus ngasih wejangan2 bijak.. adem gitu bacanya.
Masih iri gabisa ikut trip ini. Hiks
Ada jokes kalo perempuan itu memang sulit untuk membaca peta. Kamu tidak salah Dik, perempuan gak pernah salah. Kalau nyasar lain kali pulang aja, bisa nonton Tom & Jerry di rumah.