Setiap orang pasti ingin menerima perlakuan yang sama dan tidak didiskriminasi berdasarkan gender. Oleh karena itu, kita sering mendengar kalimat kesetaraan gender. Namun, apakah benar saat ini lingkungan kita sudah ramah gender?
Saya jadi ingin bercerita beberapa pengalaman yang menurut saya belum ramah gender, dan hal itu terjadi di lingkungan saya sendiri. Bahkan mungkin secara tak sadar saya sendiri pun sering melakukan hal sama.
Pertanyaan yang Tak Ramah Gender
“Ngapain perempuan sekolah tinggi-tinggi, ujung-ujungnya balik ke dapur juga.”
“Perempuan jangan pinter-pinter ntar cowo-cowo pada minder.”
“Kapan nikah? Perempuan jangan nikah tua-tua, ntar jadi perawan tua.”
Kalian para perempuan sering mendengar kalimat di atas? Saya sendiri sering sekali mendengar kalimat tersebut. Kalimat yang sering terlontar dari saudara-saudara, bahkan tetangga di kampung halaman.
Awalnya saya maklum mereka berbicara seperti itu, karena kondisinya di kampung saya banyak anak perempuan yang nggak lanjut sekolah dan memilih menikah muda. Banyak faktor kenapa terjadi seperti itu, mulai dari anaknya yang memang malas sekolah, sampai himpitan ekonomi sehingga orangtuanya tak bisa membiayai sekolah.
Namun, lama-lama saya juga mulai jengah jika setiap pulang kampung selalu ditanya dengan kalimat-kalimat di atas. Memangnya kenapa sih kalau perempuan pintar, dan belum menikah di usia yang menurut mereka sudah matang. Kenapa pertanyaan-pertanyaan seperti itu hanya terlontar untuk perempuan saja? Bagaimana dengan laki-laki?
Lingkungan saya di kampung memang masih banyak yang bias gender, tapi jika mendengar cerita teman-teman lain, mereka pun sering mendapatkan pertanyaan yang sama. Jadi, kalau saya lihat memang masih banyak orang sekitar kita yang masih bias gender.
Tak usah jauh-jauh, mamah saya pun dulu sering bias gender. Sering kali anak perempuannya ini dilarang melakukan hal-hal yang dianggapnya perempuan tak mampu melakukannya. Pernah suatu ketika saya izin traveling ke Dieng, dan saya cerita akan naik Bukit Sikunir. Lalu mamah saya bilang “ngapain naik-naik bukit, kayak anak laki-laki saja”.
Mamah saya ini memang masih kolot, tapi saya paham sebenarnya ia khawatir dengan anak perempuannya ini. Jadi ingat saat SMP, waktu itu sekolah saya membuat acara perpisahan ke Jogja, sudah pasti saja saya tak mendapat izin. Sampai guru-guru yang meminta izin, barulah saya diizinkan.
Karena perlakuan mamah saya itu, akibatnya saya jadi perempuan yang penakut. Di umur yang sudah dewasa ini, saya masih belum berani berpergian jauh sendiri. Seiring bertambahnya usia, saya sering memberikan pengertian ke mamah saya kalau khawatir boleh tapi juga tidak berlebihan.
Kebayang ya karena kita tidak memahami tentang ramah gender, tanpa sadar perlakuan kita dapat merugikan orang lain.
Yuk Pahami Tentang Ramah Gander
Agar kita tidak bias memperlakukan orang lain atau mungkin calon anak kita dengan salah atau bias gender, mari kita pahami apa yang dimaksud dengan ramah gender. Sebelumnya kita harus paham dulu apa yang dimaksud dengan seks dan gender.

Seperti yang dijelaskan di foto, kalau gender adalah membedakan manusia laki-laki dan perempuan serta spektrum di antaranya secara sosial. Contohnya di kehidupan sehari-hari, kita sering menganggap kalau anak perempuan harus memakai baju warna pink, sedangkan laki-laki harus memakai warna biru. Tanpa sadar kita pun bias gender.
Itu dalam hal keseharian, masih banyak contoh lain yang tak ramah gender. Kalian sering mendengar berita pemerkosaan? hal yang sering diributkan selalu perempuannya, selalu ada yang bilang karena perempuannya “mengundang” dengan berpakaian yang minim. Terus bagaimana dengan sosok lelakinya? padahal pemerkosaan bukan hanya karena pakaian, tapi karena ada kesempatan.
Banyaknya masyarakat kita yang bias gender, tanpa sadar banyak hal-hal yang merugikan sosok perempuan. Bukan hanya di kehidupan sehari-hari, tapi juga di media. Banyak sekali judul-judul berita yang tak ramah gender.
Edukasi Lingkungan Tentang Ramah Gender
Kemarin saya sempat mengobrol dengan teman di kantor tentang ramah gender ini. Ternyata dia tak terlalu paham kalau hal-hal yang terlihat biasa saja seperti mengkotak-kotakan warna untuk perempuan dan laki-laki termasuk perlakuan tak ramah gender.
Jujur, saya pun awalnya menganggap itu hal biasa. Jadi sebenarnya lingkungan kita ini memang masih tidak sadar gender. Hal ini menjadi PR untuk kita yang sudah mulai paham tentang ramah gender untuk mengedukasi lingkungan sekitar.
Kita bisa mulai dengan memberikan pengertian dan penjelasan tentang ramah gender dimulai dari kebiasaan sehari-hari.
Di Hari Perempuan Internasional ini saya juga berharap agar media ramah gender. Mulailah edukasi masyarakat tentang ramah gender, bukan hanya mencari trafik saja. Tentu saja trafik pasti penting untuk media, tapi mengedukasi pun harus.
Jika media masih tak ramah gender, saya harap banyak blogger yang paham tentang hal ini dan mulai menerapkannya.
Untuk kalian yang membaca tulisan ini dan punya cerita tentang ramah gender, yuk sharing di kolom komentar.
Satu pemikiran pada “Apakah Lingkungan Kita Sudah Ramah Gender?”