cari-tahu-bahayanya-kesehatan-mental-dari-buku-represi
HEALTH

Cari Tahu Bahayanya Kesehatan Mental Dari Buku Represi

Posted on

Tahun lalu saya sempat membaca buku yang berjudul Represi. Buku ini bergenre young adult yang bercerita tentang kesehatan mental seorang anak perempuan yang dikemas dalam bentuk novel.

Di buku ini diceritakan sang tokoh utama bernama Anna. Awalnya, Anna memiliki kehidupan baik-baik saja. Meski tidak terlalu dekat dengan ayahnya, gadis itu punya seorang ibu dan para sahabat yang setia. Sejak SMA, para sahabatnya yang mendampingi Anna, memahami gadis itu melebihi dirinya sendiri.

Namun, suatu hari Anna ditemukan tak sadarkan diri karena mencoba bunuh diri. Tentu hal ini menjadi tanda tanya besar, apa yang menyebabkan Anna mencoba bunuh diri.

Memang apa yang tampak di luar belum tentu sama dengan kenyataannya. Ibunya tidak pernah tahu kalau Anna sudah jarang berhubungan dengan sahabatnya. Anna mulai menjauh dari sahabatnya, dan dia tidak lagi menjadi dirinya.

Hubungan Anna dengan ibunya pun memburuk. Anna berubah menjadi sosok yang asing dan penuh luka. Tak ada yang tahu apa yang terjadi dengan Anna sampai dia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya.

Lebih Tahu Kesehatan Mental dari Kasus Anna

Karena kekhawatiran ibunya, Anna pun dibawa ke psikolog. Tentu saja awalnya Anna mengamuk ketika bertemu sang psikolog, Nabila. Namun orangtua Anna tak pernah menyerah, selalu membawa Anna kembali untuk bertemu Nabila.

Sampai akhirnya Anna merasa bisa mempercayai Nabila, dan menceritakan semua apa yang sudah dia pendam selama ini. Tentang ayahnya yang jarang di rumah, pelecehan seksual yang dialaminya saat kecil, sampai hubungan toxic-nya.

Dari kasus Anna saya jadi tahu kalau kesehatan mental bisa terjadi karena hal kecil yang dipendam secara terus menerus sampai akhirnya meledak. Di buku Represi diceritakan, karena Anna anak tunggal maka ibu dan ayahnya selalu melarang Anna menangis. Hal itu terjadi sejak Anna kecil.

“Anak ayah dan ibu kan jagoan, jadi nggak boleh nangis”

Kalimat itu sering kali dilontarkan oleh orangtua Anna, dan terpatri di otaknya. Sampai dewasa pun Anna tak pernah menangis karena dia beranggapan kalau nangis, dia bukan anak orangtuanya. Jadi sejak kecil dia selalu memendam semua bebannya sendiri, tanpa bisa meluapkannya dengan menangis. Padahal dengan menangis kita bisa merasa lebih tenang.

Ya sesederhana itu, tapi ternyata berdampak sangat besar untuk kesehatan mental Anna. Ucapan yang dianggap orangtua agar anaknya lebih kuat, nyatanya malah sebaliknya.

Memang pada kasus Anna bukan karena hal itu saja, kurangnya kasih sayang ayahnya pun menjadi penyebab lainnya. Ditambah dengan pelecehan seksual yang dialaminya ketika kecil, dan dia tak berani memberitahu orangtuanya. Akibat pelecehan seksual itu Anna jadi benci dirinya sendiri, merasa dirinya kotor. Ditambah lagi hubungannya dengan sang pacar yang bisa dibilang toxic relationship, pacarnya melarang Anna untuk meraih mimpinya dan menjauhi teman-temannya.

Di saat Anna sudah melakukan semua yang diinginkan pacarnya, dia malah pergi meninggalkan Anna. Hal itulah yang membuat Anna mencoba bunuh diri. Semua luka sejak kecil yang dipendam, ditambah dengan luka-luka baru akhirnya meledak. Merasa tak ingin hidup lagi dan memutuskan mengakhiri hidupnya.

Proses Konseling Dengan Psikolog Tak Semenyeramkan Itu

Dari buku Represi saya juga jadi tahu bagaimana proses konseling dengan psikolog. Mungkin masih banyak orang yang takut untuk konseling tentang kesehatan mentalnya ke psikolog. Di buku ini kalian akan tahu konseling dengan psikolog itu tak semenyeramkan itu.

Selama Anna konseling dengan Nabila, Anna diberikan alat gambar sebagai media untuk meluapkan semua perasaannya. Anna hanya disuruh menggambar, kemudian Nabila akan menanyakan tentang gambarnya itu dengan sangat hati-hati.

menggambar-untuk-proses-healing kesehatan mental
Proses healing dengan menggambar | pic by Craig Adderley

Terlihat sederhana, tapi psikolog bisa membaca semuanya dari gambar tersebut. Di awal Anna konseling gambarnya terlihat suram, perlahan gambarnya semakin ceria, sampai akhirnya dia bisa menerima semua yang sudah terjadi dan memaafkan dirinya sendiri.

Jadi sebenarnya konseling ke psikolog tidak menakutkan, kita hanya curhat saja. Menceritakan semua apa yang kita rasakan, apa yang kita pendam, dan hal-hal lainnya yang mengganggu pikiran kita.

Karena psikolog sudah profesional dan disumpah, maka rahasia kita terjamin aman. Jika kita cerita ke orangtua atau teman yang kadang menyudutkan, maka psikolog akan berada di tengah-tengah. Tidak membela ataupun menyalahkan, membuat kita yang konseling pun merasa nyaman untuk menceritakan semuanya.

Psikolog pun tak akan memaksa kita untuk bercerita pada pertemuan pertama, ia akan menunggu sampai kita siap untuk menceritakan semuanya.

Mudahnya Konseling di Aplikasi Halodoc

Seperti yang saya bilang tadi, saat ini masih banyak orang yang merasa konseling dengan psikolog itu menakutkan. Takut rahasia bocor atau malah takut biayanya yang mahal.

Namun tak usah khawatir, di zaman yang serba canggih ini kalian bisa konseling dengan psikolog hanya melalui aplikasi di smartphone kalian saja lho. Bagaimana caranya?

Kalian hanya perlu mengunduh aplikasi Halodoc, nanti akan ada pilihan beberapa menu. Kalian tinggal pilih chat dengan dokter, terus pilih Psikologi Klinis.

konsultasi-kesehatan-mental-di-halodoc
Tampilan di aplikasi Halodoc

Di aplikasi Halodoc juga kalian bisa langsung melihat daftar psikolog, beserta pengalamannya sudah berapa lama, serta harga untuk konselingnya. Mudah bukan? Apalagi saat ini sedang ada diskon, jadi harganya sangat murah.

Dengan adanya dokter psikologi di Halodoc, ini sangat memudahkan sekali untuk kita yang merasa perlu cerita tapi nggak punya waktu. Kita bisa cerita di mana saja dan kapan saja dengan harga yang terjangkau juga.

Jadi, untuk kalian yang merasa memiliki beban dan ingin berbagi ke orang lain demi kesehatan mental kalian. Sebaiknya kalian cerita ke psikolog di aplikasi Halodoc saja, rahasia kalian sudah pasti aman.

 

Selamat mencoba 🙂
Antin Aprianti 

2 thoughts on “Cari Tahu Bahayanya Kesehatan Mental Dari Buku Represi

  1. Seranta Cerita

    9 Juli 2020 at 1:04 PM

    Menarik bukunya yang bercerita sekaligus diam-diam memberitahukan kepada orang bahwa “It’s okay not to be okay. And it’s okay to seek help, especially from professional”.

    1. Antin Aprianti

      9 Juli 2020 at 1:31 PM

      Benar sekali, Kak. Respesi salah satu buku yang sangat berkesan untuk saya, karena banyak pesan yang disampaikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *